Manggarai Timur, lenteranews.info– Kebijakan sanksi yang diterapkan oleh pihak SMA Negeri 1 Poco Ranaka terhadap siswa yang tidak hadir tanpa keterangan resmi atau “alpa” menuai reaksi keras dari sejumlah pelajar.
"Kami datang untuk belajar, bukan untuk membangun pagar," ujar salah satu siswa yang kecewa dengan kebijakan tersebut.
Dalam aturan yang mulai diberlakukan sejak beberapa bulan lalu, setiap satu kali alpa dikenai sanksi membawa 20 buah batako.
Kebijakan tersebut, menurut Kepala Sekolah, diberlakukan untuk membantu memperbaiki pagar sekolah yang rusak dan melakukan penataan taman sekolah.
"Sanksi ini bukan hanya hukuman, tapi juga untuk mendidik siswa tentang tanggung jawab dan kedisiplinan," kata Kepala Sekolah Ferdinandus Fifardin, menjelaskan alasan dibalik keputusan tersebut.
Namun, para siswa menilai kebijakan tersebut tidak adil dan terkesan memindahkan tanggung jawab sekolah kepada murid. Mereka pun mendesak Dinas Pendidikan Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk segera mengambil sikap.
"Ini tidak adil, kami hanya pelajar, bukan pekerja yang bisa membawa batako," tegas seorang siswa kelas XI.
Satu Kali Alpa = 20 Batako
“Satu kali alpa, 20 batako. Kalau tidak mau kena sanksi, jangan alpa,” kata Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Poco Ranaka, Ferdinandus Fifardin, saat dikonfirmasi media ini melalui pesan WhatsApp pada Rabu (23/4/2025) malam.
"Kami hanya ingin memperbaiki sekolah kami, jadi kami mencari cara agar semua pihak ikut bertanggung jawab," tambah Ferdinandus.
Menurut Ferdinandus, sanksi ini diberlakukan bukan semata-mata sebagai bentuk hukuman, melainkan juga untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kedisiplinan siswa.
Ia menyebut bahwa kerusakan pagar sekolah telah lama menjadi perhatian pihak sekolah, namun terbatasnya dana membuat pihaknya mengambil inisiatif kreatif agar seluruh warga sekolah ikut terlibat.
"Kami tidak punya anggaran untuk membangun pagar dan menata taman. Tapi kami punya siswa-siswa yang harus didisiplinkan. Maka kami buat ini sebagai bentuk pembinaan," jelasnya.
Ia menegaskan bahwa kebijakan ini hanya berlaku bagi siswa yang tidak masuk tanpa alasan jelas dan tidak membawa surat keterangan dari orang tua atau pihak medis.
"Kami tidak kejam. Kalau ada surat izin karena sakit atau urusan keluarga yang sah, tidak dikenakan sanksi," tambahnya.
Siswa Merasa Tak Adil
Namun kebijakan ini tak diterima dengan tangan terbuka oleh sebagian besar siswa. Seorang siswa kelas XI yang tidak ingin disebutkan namanya, menyampaikan kekecewaannya.
"Kalau alpa satu kali langsung disuruh bawa 20 batako, itu sangat berat. Kami bukan orang bekerja. Kami datang ke sekolah untuk belajar, bukan untuk membangun pagar," ujarnya.
Menurutnya, kebijakan ini sangat memberatkan, terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan.
"Takut dihukum bawa batako. Takut dimarahi. Ini membuat kami stres. Sekolah seharusnya jadi tempat yang menyenangkan untuk belajar, bukan tempat yang menakutkan karena sanksi seperti itu," tambahnya.
Ia mengaku bahwa beberapa teman sekelasnya bahkan takut untuk tidak masuk, meskipun sedang dalam kondisi sakit.
Menurutnya, jika pagar sekolah rusak, maka seharusnya pihak sekolah atau pemerintah yang bertanggung jawab, bukan membebani siswa yang belum punya penghasilan tetap.
Tidak Ada Sosialisasi
Salah satu poin yang paling disoroti oleh siswa adalah tidak adanya sosialisasi yang jelas dan terbuka mengenai kebijakan tersebut sebelum diberlakukan.
"Kami tidak diajak bicara. Tidak ada pengumuman resmi ke kelas atau surat kepada orang tua. Tiba-tiba saja langsung diberlakukan. Satu teman saya sudah diminta setor batako karena alpa satu hari," kata salah satu siswa.
Bagi siswa ini, pendekatan seperti itu sangat keliru dan tidak mengedepankan nilai-nilai pendidikan yang mendidik dan melindungi.
"Sekolah itu tempat mendidik, bukan tempat menjatuhkan mental siswa. Sanksi boleh, tapi harus masuk akal dan punya nilai pembelajaran, bukan hukuman fisik atau material seperti ini," katanya.
Desakan Kepada Dinas Pendidikan
Dengan kondisi tersebut, para siswa mendesak agar Dinas Pendidikan Provinsi Nusa Tenggara Timur segera mengambil tindakan.
"Kami mohon Dinas Pendidikan jangan diam saja. Tolong datang dan lihat kondisi kami di sekolah. Apakah sanksi ini mendidik atau malah membuat siswa takut ke sekolah?" ujar siswa tersebut.
Ia berharap Dinas dapat memberikan arahan yang bijaksana kepada pihak sekolah agar pendekatan pendidikan dilakukan dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan, empati, dan perlindungan terhadap hak-hak siswa.
"Jangan sampai siswa merasa sekolah seperti penjara. Sanksi bukan satu-satunya cara untuk mendidik. Ada pendekatan lain yang lebih manusiawi," pungkasnya.
Sekolah Tak Bergeming, Dinas Masih Bungkam
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Dinas Pendidikan Provinsi Nusa Tenggara Timur terkait sanksi batako di SMAN 1 Poco Ranaka.
Beberapa guru yang coba dimintai komentar enggan memberikan tanggapan, dan menyarankan agar wartawan langsung konfirmasi kepala sekolah atau pihak dinas.
Sementara itu, Kepala Sekolah Ferdinandus tetap pada pendiriannya. Ia menyebut bahwa semua langkah yang diambil oleh pihak sekolah bertujuan baik.
"Kami ingin sekolah ini bersih, indah, dan tertib. Itu butuh kerja sama semua pihak. Kalau siswa tidak alpa, maka tidak akan terkena sanksi. Ini soal tanggung jawab," tutupnya.
Reporter: Eventius Suparno