masukkan script iklan disini
Jakarta, Tombak Berita. Online-
Tombak berita.Online-Kematian mendadak lebih dari seratus lumba-lumba sungai Amazon dalam beberapa hari terakhir menimbulkan kekhawatiran bahwa peningkatan suhu panas global dapat melampaui ambang batas toleransi spesies di kawasan rentan.
Bangkai mamalia langka yang mengapung, bersama dengan ribuan ikan mati, muncul di Danau Tefé, Amazonas, Brasil yang suhunya sekarang seperti pemandian air panas. Peningkata suhu terjadi setelah kekeringan berkepanjangan mengeringkan sebagian besar air.Penduduk komunitas kecil di negara bagian Amazonas itu bahkan menggambarkan peristiwa tersebut dalam istilah apokaliptik alias kiamat.
"Penampakan rutin lumba-lumba sungai merah muda adalah salah satu keistimewaan hidup di jantung Amazon. Hampir setiap kali saya jalan-jalan pagi untuk sarapan, saya melihat mereka muncul ke permukaan dan itu mengingatkan saya mengapa saya tinggal di sini," ujarnya.
"Mengetahui bahwa mereka mati memang menyedihkan. Tetapi melihat tumpukan bangkai, mengetahui bahwa kekeringan ini telah menewaskan lebih dari 100 orang, adalah sebuah tragedi," tuturnya.
Ayan Fleischmann, peneliti geosains di Mamirauá Institute, mengatakan beberapa kemungkinan penyebabnya sedang diselidiki, termasuk penyakit dan kontaminasi limbah. Namun dia mengatakan kedalaman air dan suhu tentu saja merupakan komponen utama dari kematian massal tersebut.
"Pada jam 6 sore kemarin, di Danau Tefé kami mengukur suhu lebih dari 39 derjat Celcius. Ini sangat panas, mengerikan. Suhu 37 derajat Celcius saja akan dianggap sebagai pemandian air panas bagi manusia," ujarnya.
Cuaca ekstrem
Seperti di belahan dunia lainnya, Brasil mengalami cuaca ekstrem yang luar biasa dalam beberapa bulan terakhir sebagai akibat dari gangguan iklim yang disebabkan oleh manusia dan El Niño.
Sebagian wilayah di bagian selatan negara ini terendam banjir akibat hujan badai yang deras, sementara wilayah utara mengalami kekeringan akibat musim kemarau yang luar biasa dahsyatnya.
Ketinggian air di Amazon, sungai terbesar di dunia, telah turun 30 cm setiap hari selama dua minggu terakhir. Saat ini, kedalaman rata-rata di Manaus lebih rendah 4,4 meter dari puncak musim hujannya. Tahun ini, kekeringan sudah mencapai 7,4 meter, yang oleh para ahli biologi setempat digambarkan sebagai hal yang tidak masuk akal.
Tregidgo memperingatkan dampak sosial karena hampir semua pasokan makanan dan bahan bakar diangkut dengan perahu di sepanjang Sungai Solimões dari Manaus, yang berjarak 550 km. Jalur air tersebut sekarang tidak bisa dilewati, sehingga akan menaikkan harga dan menyebabkan kerawanan pangan.
Tefé adalah salah satu daerah yang paling parah terkena dampak kekeringan. Badan meteorologi nasional setempat mengatakan, curah hujan di sana pada bulan September hanya sepertiga dari rata-rata historis. Banyak saluran yang mengering. Perjalanan perahu sungai yang biasanya memakan waktu tiga jam kini memakan waktu satu hari penuh karena kano harus melewati lumpur dan air.
Populasi manusia sebanyak 70 ribu orang di Tefé berada dalam krisis. Komunitas tersebut adalah satu dari 15 komunitas yang berada dalam situasi darurat, menurut pejabat negara bagian Amazonas.
Dengan meluasnya wilayah yang terkena dampak kekurangan air dan kekeringan yang diperkirakan akan semakin parah pada bulan Oktober, para pejabat setempat telah melakukan perjalanan ke Brasília untuk mengajukan petisi kepada pemerintah federal untuk meminta bantuan kemanusiaan.
Lumba-lumba sebagai indikator
Lumba-lumba dianggap sebagai indikator kesehatan sungai. Keberadaan lumba-lumba sangat penting bagi mereka yang tinggal di sepanjang tepi sungai. Mereka dikenal sebagai boto di Amazon, memakan piranha, dan berwarna merah muda atau abu-abu. Mereka juga memiliki status semi-mitologis dalam budaya tradisional, di mana mereka kadang-kadang dikatakan berwujud manusia dan menghamili perempuan.
International Union for the Conservation of Nature (IUCN) mengklasifikasikan boto sebagai hewan terancam punah. Mereka adalah salah satu dari enam spesies lumba-lumba air tawar yang tersisa di dunia, meskipun dulunya mereka sangat beragam dan melimpah.
Salah satunya adalah lumba-lumba Sungai Yangtze, yang dikenal sebagai baiji di China. Spesies ini praktis punah karena polusi, lalu lintas sungai, bendungan, dan penangkapan ikan yang berlebihan. Mereka telah ada di Bumi selama 20 juta tahun, namun belum terlihat lagi sejak tahun 2002.
Lumba-lumba berjuang keras untuk hidup di wilayah lain Amazon. Awal bulan ini, nelayan di Marechal Thaumaturgo, negara bagian Pará, menyelamatkan dua mamalia yang terperangkap ketika permukaan air di Sungai Juruá turun menjadi 2,3 meter. Selain itu, viral sebuah video di media sosial yang menunjukkan bayi manatee mati diangkut dengan kano.
Daphne Willems, dari kelompok konservasi WWF, menggambarkan berita tersebut sebagai sebuah hal yang sangat menyedihkan. "Spesies luar biasa ini sudah terancam punah. Jadi, kehilangan begitu banyak individu lumba-lumba dalam waktu singkat adalah sebuah bencana," ujarnya.
Dia mengatakan tragedi ini memerlukan respons segera dan menyoroti pentingnya deklarasi global tentang lumba-lumba sungai, yang akan ditandatangani pada 24 Oktober.
Sumber:Detik.com